Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Kamis, 26 Januari 2012

Rahasia Psikotes Dalam Penerimaan Karyawan

Sebagaimana saya janjikan kepada Mbak Heny yang mengeluh “berkali-kali gagal dalam psikotes”, maka saya akan menyampaikan duduk perkara psikotes dalam perekrutan tenaga kerja.
Istilah psikotes (atau psychological testing) sering digambarkan sebagai aktivitas dalam proses seleksi yang menggunakan pendekatan psikologis. Padahal psikotes itu sendiri hanyalah salah satu bagian dari proses yang disebut asesmen psikologis atau pemeriksaan psikologis.
Terlepas dari persoalan pemahaman atas terminologi itu, saya akan berbicara dulu tentang fungsi psikotes itu secara umum. Secara singkat, psikotes digunakan untuk “memilih orang terbaik dari sekian banyak calon, sesuai kriteria jabatan maupun tugas yang harus dilakukan”.
Dengan demikian, kalau gagal dalam psikotes, bukan berarti kita adalah orang bodoh atau orang yang tidak pantas mendapat pekerjaan. Bukan. Hanya saja, dalam konteks pekerjaan yang kita lamar, kita memang bukan orang yang pas.
Sebagai contoh, kalau berdasar hasil psikotes diketahui kita adalah orang yang cenderung single fighter, tidak bisa bekerja sama dengan orang lain, perfectionist, apalagi kalau kita menyebutkan punya hobi membaca, maka kita bukan orang yang pas untuk direkrut sebagai staf marketing, staf public relations, atau petugas front office. Orang dengan karakter seperti kita barangkali akan sangat pas untuk perusahaan yang sedang mencari staf peneliti atau bagian riset, akuntan, atau staf keuangan.
Orang perfectionist memang hasil kerjanya sempurna, tetapi cenderung tertutup, tidak mau berimprovisasi atau berkreasi, bekerja setahap demi setahap sesuai “prosedur” dan dalam bekerja tidak suka campur tangan orang lain, atau sebaliknya, tidak suka mencampuri pekerjaan orang lain. Nah, kalau seorang perfectionist ditempatkan sebagai staf PR atau marketing, maka dia tidak akan bisa bekerja secara maksimal karena petugas PR atau marketing dituntut bekerja cepat, penuh kreasi dalam menanggapi berbagai keadaan, juga harus senang bergaul dan bekerja tim.
Sebaliknya, kalau kita adalah pekerja cepat (yang bersemboyan “nggak sempurna nggak apa-apalah yang penting segera selesai”), penuh kreasi, senang bergaul dan pekerja tim, penuh perhatian terhadap pekerjaan atau persoalan orang lain, maka kita tidak pas untuk menjadi pertugas riset, akuntan atau staf keuangan. Kalau jadi petugas riset, kita akan tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Kalau menjadi staf keuangan, kita cenderung “mudah memberi kasbon” begitu teman kita mengeluh, “Bos, anakku sakit nih, perlu opname”. Atau malah karena sedemikian kreatif, kita bisa menyulap angka “5.000.000” menjadi “3.000.000”, hayo….
Intinya adalah bahwa “gagal” lulus psikotes bukan berarti gagal segala-galanya. Jika dinyatakan tidak lulus, berarti kita memang tidak memenuhi persyaratan yang seharusnya dimiliki untuk melakukan pekerjaan tertentu menurut ukuran perusahaan tersebut. Namun ukuran setiap perusahaan belum tentu sama. Ini berarti kita dapat mencoba melamar pada perusahaan lain bukan? Namun kalau berkali-kali gagal melamar untuk satu jenis pekerjaan, kemungkinan besar pekerjaan tersebut tidak cocok untuk kita. Karena itu sebaiknya di masa mendatang kita harus melamar jenis pekerjaan yang berbeda.
Pekerjaan yang cocok
Pertanyaannya adalah, pekerjaan apakah yang cocok untuk kita? Untuk keperluan ini, bisa jadi kita perlu “mem-psikotes-kan” diri sendiri. Kita bisa datang ke lembaga jasa psikologi. Kalau di Solo, biayanya berkisar di angka 100 ribu rupiah. Ini akan sangat membantu kita mengetahui karakter diri sendiri.
Para psikolog punya “pakem yang baku” untuk mengetahui apakah Anda termasuk atau tidak termasuk “orang yang terbuka”, “punya sifat kepemimpinan yang baik”, “kreatif”, “mampu bekerja sama” dan sebagainya. Pernahkah Anda ketika mengikuti psikotes diminta menggambar pohon atau menggambar rumah? Atau diminta menyelesaikan gambar berdasar titik dan garis tertentu yang sudah ada? Nah, itulah salah satu perangkatnya.
“Kunci jawaban” atas soal atau tugas seperti itu hanya dimiliki oleh para psikolog. Kalau saya kebetulan tahu, ya itu karena saya diberitahu oleh teman saya, seorang psikolog yang “tidak erat memegang etika profesi”. Kenapa? Ya sebab itu adalah rahasia etik profesi yang sebenarnya tidak boleh diketahui orang non-psikolog.
Kalau saat ini banyak kita temui buku-buku atau tulisan di internet mengenai cara menembus soal psikotes, maka biasanya hanya menyentuh masalah kecerdasan dan daya nalar. Kalau sampai menyangkut masalah kepemimpinan misalnya, atau kecenderungan psikologis lain, maka saya yakin penulisnya sama dengan psikolog yang memberi bocoran ke saya, yakni sama-sama psikolog yang tidak tahu etika, hahaha.
Kalau suatu saat di Wikimu muncul “kunci jawaban” atas problematik dalam psikotes seperti itu, pasti bukan dari saya. Soalnya saya masih memegang janji kepada “psikolog pengkhianat etika profesi” yang teman saya itu untuk tidak membeber secara terbuka masalah tersebut.
Alasannya sederhana. Kalau kita memang orang yang punya kecenderungan sebagai pribadi yang tertutup, perfectionist, tidak mau diganggu dan mengganggu, bukan pekerja tim, maka kita tidak akan bertahan lama pada pekerjaan itu. Kalau tidak stres ya dipindahtugaskan karena gagal bertugas dengan baik.
Singkat kata, kalau para psikolog memberi tahu “kunci jawaban” atas problematik dalam psikotes, maka mereka telah mencelakakan diri Anda. Oleh karena itulah mereka mempunyai kode etik profesi. Lha kalau saya yang tidak terikat oleh kode etik profesi psikolog bagaimana? Hehehe, main bujuk nih ye?
Ok, kita akhiri dulu. Semoga bermanfaat.


Silahkan  baca artikel rekomendasi dari saya DISINI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar